Selasa, 15 Februari 2011

Kesultanan Banjar

Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 negeri besar yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Selanjutnya Kesultanan Banjar bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak jaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Kerajaan Tidung kuno) lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda. Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya suku Biaju (rumpun Dayak Barito) merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar bahkan menjadi tentara kerajaan yang handal. Kerajaan Banjar tidak pernah mengklaim Kalimantan bagian utara, dan sejauh ini juga belum pernah ditemukan catatan bahwa Kesultanan Banjar mengirim upeti kepada Kesultanan Brunei sebagai penguasa wilayah utara Kalimantan. Suku Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibanding dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.




Teritorial Kerajaan Banjar pada abad ke 14-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :

Negara Agung
Mancanegara
Daerah Pesisir (daerah terluar)
Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas sampai ke negeri Karasikan. Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar pulau, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[3]

Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).

Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.

Sejak dipindahkan ibukota ke Daerah Martapura (Martapura, Riam Kanan, Riam Kiwa) maka kota Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
Tabunio, atau Tanah Laut, daerah laut, kebalikan arah dari "tanah darat". Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Tatas (Banjarmasin). Tatas diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Kuin Utara (Banjarmasin Utara) sampai perbatasan daerah Margasari tetap sebagai wilayah kerajaan sampai 1860.
Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Muarabahan (atau Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari muara hingga kuala Mengkatip). Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
Tanah Dusun yaitu daerah hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787 Tanah Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Bawah) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap sebagai wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin meluas disebut Borneo Selatan terdiri dari :
Wilayah Barat (Kalimantan Tengah): Biaju, Kahayan, Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin dan Jelai dalam Hikayat Banjar semua daerah ini dibawah Kotawaringin. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, kemudian menjadi Afdeeling Tanah Dayak dan Afdeeling Sampit.
Wilayah Timur : Pagatan, Batulicin, Laut-Pulau, Pamukan dan Pasir; dalam Hikayat Banjar abad ke-17 semua daerah ini dibawah Pasir, yang kemudian muncul pecahannya Kerajaan Tanah Bumbu (serta Tanah Kusan). Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja termasuk wilayah Kesultanan Pasir itu sendiri dan bekas kerajaan Tanah Bumbu (Kalimantan Tenggara) pada 1863 berkembang menjadi 10 swapraja : Sabamban, Koensan, Pegatan, Batoe Litjin, Poelau Laoet, Bangkalaan, Tjangtoeng, Sampanahan, Manoenggoel dan Tjingal, sebenarnya ada satu daerah lagi yang sudah dihapuskan yaitu Buntar-Laut.
Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 untuk menaklukan kembali Sanggau, Sintang, Lawai, Pasir, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :
Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin dengan wilayah lebih kurang sama dengan kawasan Borneo Timur dan jika digabung dengan kawasan Borneo Selatan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Wilayah negeri Kutai. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
Wilayah negeri Berau (yang terbagi menjadi Kesultanan Bulungan, Gunung Tabur dan Tanjung).
Wilayah terluar di timur yaitu negeri Karasikan/Kerajaan Tidung kuno (bawahan Berau) dan pantai sebelah Timur.
Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin, dengan wilayah lebih kurang sama dengan Karesidenan Borneo Barat.
Wilayah Batang Lawai atau hulu sungai Kapuas (Kerajaan Sintang dan Lawai). Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut menuju sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang dan negeri Lawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Lawai sebelumnya sudah diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Wilayah negeri Sukadana (serta cabangnya Kerajaan Tayan, Kerajaan Meliau, Kerajaan Sanggau serta Kerajaan Mempawah). Terakhir kalinya Sukadana mengantar upeti tahun 1661, kemudian Sukadana menjadi vazal Kesultanan Banten setelah kalah dalam perang Sukadana-Landak (dimana Landak dibantu Banten-VOC), kemudian Banten menyerahkan wilayah Sukadana dan Landak (vazal Banten) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778, kemudian dijadikan Afdeeling Pontianak.
Wilayah terluar di barat adalah negeri Sambas dan pantai sebelah Barat. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan kepada Sultan Agung, raja Mataram. Tahun 1641 terakhir kalinya Banjarmasin mengirim upeti kepada Kesultanan Mataram. Selanjutnya mulai tahun 1675 negeri Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dengan nama Kesultanan Sambas dan mulai tahun 1855 digabungkan ke dalam Hindia Belanda dengan nama Afdeeling Sambas.
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah : [4]

Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
Tanah Mandawai.
Sampit
Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
Padang Bajingah
Padang Penggantihan
Padang Munggu Basung
Padang Taluk Batangang
Padang Atirak
Padang Pacakan
Padang Simupuran
Padang Ujung Karangan
Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Banjar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar