Selasa, 15 Februari 2011

Kerajaan Tayan

Sejarah Kesultanan Tayan Kalimantan Barat
Sejarah Kesultanan Tayan Kalimantan Barat

Pendiri kerajaan Tayan adalah putra Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang bernama Gusti Likar/Lekar. Bersama dengan saudara-saudaranya, Gusti Likar meninggalkan kerajaan Tanjungpura yang sering terlibat peperangan.

Pemerintahan kerajaan Tayan kemudian dipegang oleh Gusti Ramal bergelar Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma, putra Pangeran Mancar pendiri kerajaan Meliau yang adalah kemenakan Gusti Likar. Mula-mula ibukota kerajaan berlokasi di Teluk Kemilun.

Setelah Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma wafat, putranya yang tertua, Suma Yuda, naik tahta dengan gelar Panembahan Tua. Panembahan berikutnya adalah putra Panembahan Tua, bernama Gusti Mekah dengan gelar Panembahan Nata Kesuma yang disebut juga Panembahan Muda. Pada waktu pemerintahan Nata Kesuma itulah kerajaan Tayan mula-mula menandatangani kontrak (korte verklaring) dengan pemerintahan Hindia Belanda pada 12 November 1822. pontianak.web.id

Pangeran Nata Kesuma mangkat pada 1825 dengan tidak meninggalkan keturunan. Tahta kerajaan kemudian diduduki oleh saudaranya yang bernama Gusti Repa dengan gelar Pangeran Ratu Kesuma. Beliau hanya memerintah selama 3 tahun hingga 1828 karena wafat. Penggantinya adalah saudara Panembahan Tua, Utin Belondo dengan gelar Ratu Utin Belondo yang juga digelar Ratu Tua. Pemerintahan dilaksanakan oleh suaminya, Gusti Hassan Pangeran Ratu Kesuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya Kesuma.

Tahun 1855 Panembahan Mangku Negara Surya Kesuma digantikan oleh putranya yang bernama Gusti Inding dengan gelar sama dengan ayahnya. Tahun 1858, Belanda mengganti gelar Mangku dengan Anum Paku, sehingga Gusti Inding kemudian bergelar Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma. pontianak.web.id

Karena Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma tidak mampu memimpin pemerintahan dan tidak berputra, pemerintahan kemudian diserahkan kepada saudaranya, Gusti Kerma Pangeran Ratu Paku Negara dengan gelar Panembahan Adiningrat Kesuma Negara. Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma mangkat pada 23 November 1873 di Batang Tarang.

Panembahan Adiningrat Kesuma Negara memerintah sampai tahun 1880 dan digantikan oleh putra tertuanya, Gusti Mohamad Ali alias Gusti Inding dengan gelar Panembahan Paku Negara Surya Kesuma. Ibukota kerajaan kemudian dipindahkan dari Rayang ke Tayan. Pada 26 Februari 1890, kerajaan Meliau digabungkan ke dalam kerajaan Tayan. pontianak.web.id

Paku Negara Surya Kesuma, mangkat pada tahun 1905 dan dimakamkan di Tayan. Beliau diganti oleh Gusti Tamzid Pangeran Ratu bergelar Panembahan Anum Paku Negara. Pada masa pemerintahan Panembahan Anum Paku Negara, Meliau kembali diserahkan kembali atas permintaan Belanda sendiri menjadi Gouvernement Gebied.

Mangkatnya Panembahan Anum Paku Negara, putra mahkota yang tertua, Gusti Jafar dinobatkan naik tahta kerajaan dengan gelar Panembahan Anum Adi Negara. Pada tahun 1944, Gusti Jafar dan Gusti Makhmud sebagai ahli waris kerajaan jatuh menjadi korban Jepang. pontianak.web.id

Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, Gusti Ismail dinobatkan menjadi Panembahan kerajaan Tayan dengan gelar Panembahan Paku Negara. Tahun 1960, beliau masih memerintah dan pemerintahan swaparja berakhir. Gusti Ismail kemudian menjabat Wedana di Tayan. Ibukota kewedanaan kemudian dipindahkan ke Sanggau, sedangkan bekas kerajaan Tayan menjadi ibu kota kecamatan Tayan Hilir

Sumber: Arsip pontianak.web.id Agustus 2008
Ngopi dari sini http://www.pontianak.web.id


Kerajaan Tayan adalah sebuah kerajaan yang dimulai awal abad 15 atau sekitar tahun 1450. Pendiri kerajaan Tayan adalah putra Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang bernama Gusti Likar/Lekar. Bersama dengan saudara-saudaranya, Gusti Likar meninggalkan kerajaan Tanjungpura yang sering terlibat peperangan.
Pemerintahan kerajaan Tayan kemudian dipegang oleh Gusti Ramal bergelar Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma, putra Pangeran Mancar pendiri kerajaan Meliau yang adalah kemenakan Gusti Likar. Mula-mula ibukota kerajaan berlokasi di Teluk Kemilun.
Setelah Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma wafat, putranya yang tertua, Suma Yuda, naik tahta dengan gelar Panembahan Tua. Panembahan berikutnya adalah putra Panembahan Tua, bernama Gusti Mekah dengan gelar Panembahan Nata Kesuma yang disebut juga Panembahan Muda. Pada waktu pemerintahan Nata Kesuma itulah kerajaan Tayan mula-mula menandatangani kontrak (korte verklaring) dengan pemerintahan Hindia Belanda pada 12 November 1822.
Pangeran Nata Kesuma mangkat pada 1825 dengan tidak meninggalkan keturunan. Tahta kerajaan kemudian diduduki oleh saudaranya yang bernama Gusti Repa dengan gelar Pangeran Ratu Kesuma. Beliau hanya memerintah selama 3 tahun hingga 1828 karena wafat. Penggantinya adalah saudara Panembahan Tua, Utin Belondo dengan gelar Ratu Utin Belondo yang juga digelar Ratu Tua. Pemerintahan dilaksanakan oleh suaminya, Gusti Hassan Pangeran Ratu Kesuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya Kesuma.
Tahun 1855 Panembahan Mangku Negara Surya Kesuma digantikan oleh putranya yang bernama Gusti Inding dengan gelar sama dengan ayahnya. Tahun 1858, Belanda mengganti gelar Mangku dengan Anum Paku, sehingga Gusti Inding kemudian bergelar Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma.
Karena Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma tidak mampu memimpin pemerintahan dan tidak berputra, pemerintahan kemudian diserahkan kepada saudaranya, Gusti Kerma Pangeran Ratu Paku Negara dengan gelar Panembahan Adiningrat Kesuma Negara. Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma mangkat pada 23 November 1873 di Batang Tarang.
Panembahan Adiningrat Kesuma Negara memerintah sampai tahun 1880 dan digantikan oleh putra tertuanya, Gusti Mohamad Ali alias Gusti Inding dengan gelar Panembahan Paku Negara Surya Kesuma. Ibukota kerajaan kemudian dipindahkan dari Rayang ke Tayan. Pada 26 Februari 1890, kerajaan Meliau digabungkan ke dalam kerajaan Tayan.
Paku Negara Surya Kesuma, mangkat pada tahun 1905 dan dimakamkan di Tayan. Beliau diganti oleh Gusti Tamzid Pangeran Ratu bergelar Panembahan Anum Paku Negara. Pada masa pemerintahan Panembahan Anum Paku Negara, Meliau kembali diserahkan kembali atas permintaan Belanda sendiri menjadi Gouvernement Gebied.
Mangkatnya Panembahan Anum Paku Negara, putra mahkota yang tertua, Gusti Jafar dinobatkan naik tahta kerajaan dengan gelar Panembahan Anum Adi Negara. Pada tahun 1944, Gusti Jafar dan Gusti Makhmud sebagai ahli waris kerajaan jatuh menjadi korban Jepang.
Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, Gusti Ismail dinobatkan menjadi Panembahan kerajaan Tayan dengan gelar Panembahan Paku Negara. Tahun 1960, beliau masih memerintah dan pemerintahan swaparja berakhir. Gusti Ismail kemudian menjabat Wedana di Tayan. Ibukota kewedanaan kemudian dipindahkan ke Sanggau, sedangkan bekas kerajaan Tayan menjadi ibu kota kecamatan Tayan Hilir.

Ngopi dari sini : http://id.wikipedia.org 15 Februari 2011

Kerajaan Tayan
* Enam Abad Perjalan Sejarah Kerajaan Tayan
Bermula dari Pengamanan Jalur Upeti pada Kerajaan Matan
PILAR Kerajaan Tayan dimulai awal abad 15 atau sekitar tahun 1450. Gusti Lekar, anak kedua Panembahan Dikiri, Raja Matan yang mendirikan Kerajaan Tayan. Awalnya kedatangan Gusti Lekar ke wilayah Tayan untuk mengamankan jalur upeti rakyat pada Kerajaan Matan.
Jalur pengiriman upeti sebelumnya selalu mendapat gangguan dan perampasan. Itu dilakukan oleh seseorang yang menyatakan diri sebagai raja di Kuala Labai. Keberhasilan Gusti Lekar mengamankan upeti untuk kerajaan ayahnya dibantu seorang suku Dayak bermana Kia Jaga dari Tebang.
Tak berselang lama setelah berhasil mengusir penggangu jalur upeti dan mendirikan Kerajaan Tayan, Gusti Lekar menikahi Enci’ Periuk, anak tunggal Kia Jaga. Mereka dikarunia empat anak, masing-masing diberi nama, Gusti Gagok, Gusti Manggar, Gusti Togok, dan Gusti Perua.
Gusti Lekar mendirikan kerajaan baru, sementara anak pertama Penembahan Dikiri, Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuddin, meneruskan kedudukannya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifuddin menjadi raja pertama yang memeluk agama Islam. Tuan Syech Syamsuddin lah yang memperkenalkan agama Islam padanya. Selain memeluk agama Islam, ia juga mendapat hadiah Al-quran kecil dan cincin bermata jamrud merah dari Makkah.
Sejarah Kerajaan Tayan diteruskan anak, cucu, dan cicit Gusti Lekar, setelah ia wafat dan dimakamkan di bukit dekat Kota Meliau masih dalam wilayah Kerajaan Tayan.
Terdapat tiga versi asal usul nama Tayan di masyarakat. Ada yang menyatakan nama Tayan diambil dari kondisi tanah Ujung Tanjung, tempat berdiri Kota Tayan, sehingga Tayan diartikan tanah tajam. Tapi ada yang mengartikan Tayan sebagai kota besar (tai: besar dan an: kota). Tempayan yang ditenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota Tayan juga dijadikan sumber nama Tayan.
Sejak mangkatnya Gusti Lekar, ibukota Kerajaan Tayan dipindahkan ke Rayang. Sampai sekarang di sana masih terdapat peninggalan makam raja-raja dan meriam. Konon meriam itu tidak dapat dipindahkan ke tempat lain dan ada saat-saat tertentu posisinya berubah sendiri.
Ibukota kerajaan pindah kembali ketempat semula di muara Sungai Kemilun 700 meter dari muara Sungai Tayan. Pemindahan dilakukan cicit Gusti Lekar, Gusti Kamarudin, setelah sakit kulitnya yang dideritanya sembuh oleh ikan patin yang memakan kulit kaki raja ketika merendam kaki di sungai. Wabah penyakit kulit itu melanda seluruh kerajaan.
Semasa kekuasaannya, Kerajaan Tayan berperang dengan Kerajaan Pontianak dan Sanggau. Pihak Gusti Kamarudin diserang pula oleh sentiam orang-orang China yang membuat terowongan satu kilometer menuju istana dari balik buki Hujan Emas.
Kerajaan Tayan juga pernah mengikat kontrak dengan Belanda pada 12 November 1822, pada kekuasaan Gusti Mekah, anak Gusti Kamaruddin. Setelah wafat, ia digantikan adiknya Gusti Repa. Tapi setelah Gusti Repa wafat, kekuasaan beralih ke adik Gusti Kamaruddin, Utin Blondo.
Semasa ia memerintah, Belanda ingin mengubah perjanjian dengan syarat yang memberatkan rakyat. Utin Blondo jelas menolak keras dan marah. Sepertinya hubungan itu baru membaik, pada kekuasaan cicitnya Gusti Muhammad Ali. Waktu itu, 26 Februari 1890, Belanda mengembalikan kekuasaan Kerajaan Meliau padanya. Itu dilakukan setelah Raja Meliau Raden Abdul Salam melepaskan kekuasaannya pada Belanda. Gusti Muhammad Ali juga memindahkan Keraton Tayan ke Kampung Pedalaman, lokasi keraton sekarang.

http://disbudpar.kalbarprov.go.id

Kesultanan Banjar

Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 negeri besar yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Selanjutnya Kesultanan Banjar bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak jaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Kerajaan Tidung kuno) lebih kurang sama dengan wilayah Borneo-Belanda. Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya suku Biaju (rumpun Dayak Barito) merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar bahkan menjadi tentara kerajaan yang handal. Kerajaan Banjar tidak pernah mengklaim Kalimantan bagian utara, dan sejauh ini juga belum pernah ditemukan catatan bahwa Kesultanan Banjar mengirim upeti kepada Kesultanan Brunei sebagai penguasa wilayah utara Kalimantan. Suku Banjar merupakan kelompok masyarakat Melayu yang terbanyak di Kalimantan, bahkan jika dibanding dengan suku Brunei. Kesultanan Banjar mengalami masa kejayaan pada abad ke-17, yang pada masa itu belum banyak suku pendatang yang mendominasi seperti saat ini seperti suku Jawa, Bugis, Mandar, Arab dan Cina.




Teritorial Kerajaan Banjar pada abad ke 14-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :

Negara Agung
Mancanegara
Daerah Pesisir (daerah terluar)
Wilayah kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas sampai ke negeri Karasikan. Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar pulau, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.[3]

Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).

Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.

Sejak dipindahkan ibukota ke Daerah Martapura (Martapura, Riam Kanan, Riam Kiwa) maka kota Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
Tabunio, atau Tanah Laut, daerah laut, kebalikan arah dari "tanah darat". Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Tatas (Banjarmasin). Tatas diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Kuin Utara (Banjarmasin Utara) sampai perbatasan daerah Margasari tetap sebagai wilayah kerajaan sampai 1860.
Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
Muarabahan (atau Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari muara hingga kuala Mengkatip). Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
Tanah Dusun yaitu daerah hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787 Tanah Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Bawah) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap sebagai wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin meluas disebut Borneo Selatan terdiri dari :
Wilayah Barat (Kalimantan Tengah): Biaju, Kahayan, Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin dan Jelai dalam Hikayat Banjar semua daerah ini dibawah Kotawaringin. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, kemudian menjadi Afdeeling Tanah Dayak dan Afdeeling Sampit.
Wilayah Timur : Pagatan, Batulicin, Laut-Pulau, Pamukan dan Pasir; dalam Hikayat Banjar abad ke-17 semua daerah ini dibawah Pasir, yang kemudian muncul pecahannya Kerajaan Tanah Bumbu (serta Tanah Kusan). Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja termasuk wilayah Kesultanan Pasir itu sendiri dan bekas kerajaan Tanah Bumbu (Kalimantan Tenggara) pada 1863 berkembang menjadi 10 swapraja : Sabamban, Koensan, Pegatan, Batoe Litjin, Poelau Laoet, Bangkalaan, Tjangtoeng, Sampanahan, Manoenggoel dan Tjingal, sebenarnya ada satu daerah lagi yang sudah dihapuskan yaitu Buntar-Laut.
Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 untuk menaklukan kembali Sanggau, Sintang, Lawai, Pasir, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :
Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin dengan wilayah lebih kurang sama dengan kawasan Borneo Timur dan jika digabung dengan kawasan Borneo Selatan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Wilayah negeri Kutai. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
Wilayah negeri Berau (yang terbagi menjadi Kesultanan Bulungan, Gunung Tabur dan Tanjung).
Wilayah terluar di timur yaitu negeri Karasikan/Kerajaan Tidung kuno (bawahan Berau) dan pantai sebelah Timur.
Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin, dengan wilayah lebih kurang sama dengan Karesidenan Borneo Barat.
Wilayah Batang Lawai atau hulu sungai Kapuas (Kerajaan Sintang dan Lawai). Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut menuju sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang dan negeri Lawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Lawai sebelumnya sudah diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Wilayah negeri Sukadana (serta cabangnya Kerajaan Tayan, Kerajaan Meliau, Kerajaan Sanggau serta Kerajaan Mempawah). Terakhir kalinya Sukadana mengantar upeti tahun 1661, kemudian Sukadana menjadi vazal Kesultanan Banten setelah kalah dalam perang Sukadana-Landak (dimana Landak dibantu Banten-VOC), kemudian Banten menyerahkan wilayah Sukadana dan Landak (vazal Banten) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778, kemudian dijadikan Afdeeling Pontianak.
Wilayah terluar di barat adalah negeri Sambas dan pantai sebelah Barat. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Dipati/Panembahan Sambas mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan kepada Sultan Agung, raja Mataram. Tahun 1641 terakhir kalinya Banjarmasin mengirim upeti kepada Kesultanan Mataram. Selanjutnya mulai tahun 1675 negeri Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dengan nama Kesultanan Sambas dan mulai tahun 1855 digabungkan ke dalam Hindia Belanda dengan nama Afdeeling Sambas.
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.

Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah : [4]

Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 :
Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
Tanah Mandawai.
Sampit
Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
Padang Bajingah
Padang Penggantihan
Padang Munggu Basung
Padang Taluk Batangang
Padang Atirak
Padang Pacakan
Padang Simupuran
Padang Ujung Karangan
Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Banjar)